ini woy tugas BKM
Perubahan Iklim
dan
Ledakan Hama dan Penyakit Tanaman
Oleh:
Dr. Suryo Wiyono
Departemen Proteksi Tanaman Fakultas Pertanian Institut Pertanian Bogor
Kampus IPB Darmaga Bogor, swiyono2@yahoo.de
Makalah disampaikan pada Seminar Sehari tenttang Keanekaragaman Hayati Ditengah
Perubahan Iklim:
Tantangan Masa Depan Indonesia, Diselenggarakan Oleh KEHATI, Jakarta 28 Juni 2007
Pendahuluan:
Organisme penganggu tanaman (OPT) merupakan faktor pembatas produksi tanaman di
Indonesia baik tanaman pangan, hortikultura maupun perkebunan. Organisme
pengganggu tanaman secara garis besar dibagi menjadi tiga yaitu hama, penyakit dan
gulma. Hama menimbulkan gangguan tanaman secara fisik, dapat disebabkan oleh
serangga, tungau, vertebrata, moluska. Sedangkan penyakit menimbulkan gangguan
fisiologis pada tanaman, disebabkan oleh cendawan, bakteri, fitoplasma, virus, viroid,
nematoda dan tumbuhan tingkat tinggi. Perkembangan hama dan penyakit sangat
dipengaruhi oleh dinamika faktor iklim. Sehingga tidak heran kalau pada musim hujan
dunia pertanian banyak disibukkan oleh masalah penyakit tanaman sperti penyakit
kresek dan blas pada padi, antraknosa cabai dan sebagainya. Sementara pada musim
kemarau banyak masalah hama penggerek batang padi, hama belalang kembara, serta
thrips pada cabai.
Akhir-akhir ini perubahan iklim seperti peningkatan temperatur yang berkaitan dengan
peningkatan kadar CO2 atmosfer (Boland et al., 2004) mulai diperhatikan kalangan
internasional maupun nasional. Bersumber pada data NASA Goddard Institute for Space
Studies (GISS) Yayasan Pelangi menyatakan bahwa tahun dibanding tahun 1951-1980
suhu permukaan rata-rata Indonesia mengalami peningkatan 0,5 – 1 C (Kompas 4 Januari
2006). Apakah perubahan iklim tersebut berdampak pada masalah hama dan penyakit
yang ada, dan apakah masalah hama- penyakit yang terkini di lapangan berkaitan dengan
perubahan iklim tersebut. Tulisan ini berupaya untuk memahami hubungan faktor faktor
iklim dengan perkembangan hama/penyakit, dikaitkan dengan fenomena permasalahan
hama-dan penyakit terkini yang ada di lapangan. Sumber data hama dan penyakit
berasal dari data luas serangan organisme pengganggu tanaman (OPT) yang disajikan
oleh Direktorat Perlindungan Tanaman Pangan, Direktorat Perlindungan Tanaman
Hortikultura, Laporan Safari Gotong Royong Nastari Bogor dan Klinik Tanaman IPB th
2007 di mana penulis ikut serta di dalamnya, serta pengamatan lapangan penulis di
berbagai daerah di Pulau Jawa.
Konsep Segitiga Penyakit:
Konsep ini berawal dari Ilmu Penyakit Tumbuhan, namun juga dapat diterapkan pada
bidang ilmu hama . Pada dasarnya penyakit hanya dapat terjadi jika ketiga faktor yaitu
patogen, inang dan lingkungan mendukung. Inang dalam keadaan rentan, patogen
bersifat virulen (daya infeksi tinggi) dan jumlah yang cukup, serta lingkungan yang
mendukung. Lingkungan berupa komponen lingkungan fisik (suhu, kelembaban,
cahaya) maupun biotik (musuh alami, organisme kompetitor). Dari konsep tersebut jelas
sekali bahwa perubahan salah satu komponen akan berpengaruh terhadap intensitas
penyakit yang muncul.
Pengaruh Faktor-faktor Iklim terhadap Hama
Hama seperti mahluk hidup lainnya perkembangannya dipengaruhi oleh faktor faktor
iklim baik langsung maupun tidak langsung. Temperatur, kelembaban udara relatif dan
foroperiodisitas berpengaruh langsung terhadap siklus hidup, keperidian, lama hidup,
serta kemampuan diapause serangga. Sebagai contoh hama kutu kebul (Bemisia tabaci)
mempunyai suhu optimum 32,5º C untuk pertumbuhan populasinya (Bonaro et al. 2007).
Contoh yang lain adalah pertumbuhan populasi penggerek batang padi putih berbeda
antara musim kemarau dan musim hujan, sementara itu panjang hari berpengaruh
terhadap diapause serangga penggerek batang padi putih (Scirpophaga innotata) di Jawa
(Triwidodo, 1993). Umumnya serangga-serangga hama yang kecil seperti kutu-kutuan
menjadi masalah pada musim kemarau atau rumah kaca karena tidak ada terpaan air
hujan. Pada percobaan dalam ruang terkontrol peningkatan kadar CO2 pada selang 389-
749μl/L meningkatkan reproduksi tungau Tetranychus urticae (Heagle et al., 2002)
Pengaruh tidak langsung adalah pengaruh faktor iklim terhadap vigor dan fisiologi
tanaman inang, yang akhirnya mempengaruhi ketahanan tanaman terhadap hama.
Temperatur berpengaruh terhadap sintesis senyawa metabolit sekunder seperti alkaloid,
falvonoid yang berpengaruh terhadap ketahannannya terhadap hama. Pengaruh tidak
langsungnya adalah kaitannya dengan musuh alami hama baik predator, parasitoid dan
patogen. Sebagai contoh adalah perkembangan populasi ulat bawang Spodoptera exigua
pada bawang merah lebih tinggi pada musim kemarau, selain karena laju pertumbuhan
intrinsik juga disebabkan oleh tingkat parasitasi dan tingkat infeksi patogen yang rendah
(Hikmah, 1997).
Faktor-faktor iklim dan penyakit tumbuhan.
Dari konsep segitiga penyakit tampak jelas bahwa iklim sebagai faktor lingkungan fisik
sangat berpengaruh terhadap proses timbulnya penyakit. Pengaruh faktor iklim terhadap
patogen bisa terhadap siklus hidup patogen, virulensi (daya infeksi), penularan, dan
reproduksi patogen. Pengaruh perubahan iklim akan sangat spesifik untuk masing
masing penyakit. Garret et al. (2006) menyatakan bahwa perubahan iklim berpengaruh
terhadap penyakit melalui pengaruhnya pada tingkat genom, seluler, proses fisiologi
tanaman dan patogen. Bakteri penyebab penyakit kresek pada padi Xanthomonas oryzae
pv. oryzae mempunyai suhu optimum pada 30º C (Webster dan Mikkelsen, 1992)
). Sementara F. oxysporum pada bawang merah mempunyai suhu pertumbuhan
optimum 28-30 º C (Tondok, 2003). Bakteri kresek penularan utamanya adalah melalui
percikan air sehingga hujan yang disertai angin akan memperberat serangan. Pada
temperatur yang lebih hangat periode inkubasi penyakit layu bakteri (Ralstonia
solanacearum ) lebih cepat di banding suhu rendah. Sebaliknya penyakit hawar daun
pada kentang yang disebabkan oleh cendawan Phytophthora infestans lebih berat bila
cuaca sejuk (18-22 º C) dan lembab.
Faktor-faktor iklim juga berpengaruh terhadap ketahanan tanaman inang. Tanaman
vanili yang stres karena terlalu banyak cahaya akan rentan terhadap penyakit busuk
batang yang disebabkan oleh Fusarium. Ekspresi gejala beberapa penyakit karena
virus tergantung dari suhu.
Dinamika lingkungan biotik juga dipengaruhi oleh faktor-faktor iklim. Habitat mikro
daun atau disebut filoplan mempunyai tingkat kolonisasi ragi (yeast) yang lebih tinggi
dibanding akar karena kemampuan mikrob tersebut untuk mentolerir kekeringan. Yeast
tersebut berperan penting dalam pengendalian hayati penyakit-penyakit yang menyerang
tajuk. Jenis dan kelimpahan cendawan penghuni daun bawang merah yang bersifat
saprofitik dipengaruhi oleh curah hujan dan kelembaban udara relatif (Wiyono, 1997).
Perkembangan Hama-Penyakit Tanaman Terkini
Beberapa perubahan pada tiga tahun terakhir terjadi pada masalah hama dan penyakit di
Indonesia yaitu eskalasi, peningkatan status dan degradasi.
Eskalasi
Pada kondisi ini hama-penyakit yang dulunya penting menjadi makin merusak,
atau tingkat kerusakannya menjadi lebih besar. Contoh dari kasus ini adalah makin
meningkatnya populasi dan kerusakan hama Thrips sp. pada tanaman cabai. Pada tahun
kemarau 2006 Thrips menimbulkan kerugian yang besar pada usaha tani cabai di Tegal
dan Brebes. Pada saat itu populasi sangat tinggi dan kerusakan berat, dan dilapangan
tidak ada satu pestisida sintetik pun yang efektif mengendalikannya Pada tiga tahun
terakhir ini menurut pengamatan penulis dan juga Laporan Safari Gotong Royong
Nastari-Klinik Tanaman IPB (2007) serangan Thrips sp. Makin berat pada berbagai
daerah pertanaman cabai seperti Brebes, Tegal, Pati, Klaten, Magelang dan Wonogiri.
Thrips lebih berkembang pada musim kemarau, akan berkembang bila kemaraunya
makin kering dan suhu rata-rata makin panas. Sebagai pembanding Thrips palmi pada
terong di Taiwan mempunyai suhu optimum untuk perkembangan populasi pada 25 – 30
º C (Chen dan Huang, 2004).
Selain itu serangan antraknosa cabai (Colletotrichum sp.) pada tahun-tahun
terakhir ini juga makin berat. Cendawan fitopatogen ini berkembang pada musim hujan
dan suhu yang hangat. Pengamatan penulis juga menunjukkan bahwa ekspresi gejala
antraknosa cabai tidak hanya menimbulkan busuk pada buah tetapi juga mati ranting,
sekali lagi menggambarkan makin beratnya penyakit ini. Penelitian dalam ruang
terkendali di Australia menunjukkan bahwa peningkatan kadar CO2 dari 350 ppm
menjadi 700 ppm meningkatkan jumlah bercak dan keparahan penyakit antraknosa
(Colletotrichum gloeosporioides) pada Stylosanthes (Chakraborty et al. 2002). Apakah
peningkatan antraknosa di Indonesia juga dipengaruhi peningkatan kadar CO2, masih
perlu diteliti lebih lanjut.
Peningkatan Status
Pada tipe ini hama/penyakit yang sebelumnya dianggap penyakit hama/penyakit minor
berubah menjadi hama/penyakit penting. Contoh dari tipe perobahan ini adalah
penggerek padi merah jambu (Sesamia inferens). Sebelumnya dinyatakan bahwa
keberadaan penggerek batang merah jambu tidak banyak bila dibanding penggerek
batang lainnya yaitu pengerek batang padi kuning (Scirpophaga incertulas), dan
penggerek batang padi putih (Scirpophaga innnotata). Pengamatan pada bulan April-
Mei 2007 disejumlah tempat di Jawa yaitu Indramayu, Magelang, Semarang, Boyolali,
Kulonprogo, dan Ciamis menunjukkan dominansi penggerek merah jambu dalam
komunitas penggerek meningkat (Nastari Bogor dan Klinik Tanaman IPB, 2007).
Kalshoven (1981) menyatakan bahwa penggerek merah jambu banyak berkembang di
daerah-daerah kering yang mempunyai iklim kemarau yang jelas. Masih menjadi
pertanyaan apakah peningkatan dominansi penggerek merah jambu berkaitan dengan
musim kemarau yang lebih panjang. Pada musim hujan 2007 Provinsi Jawa Tengah dan
Jawa Timur mempunyai daerah kekeringan terluas dan melebihi rata-rata 5 tahun
terakhir. (http://www.deptan.go.id/setjen/humas/berita/Serangan%20OPT.htm)
Penyakit kresek/BLB (bacterial leaf blight) pada padi oleh Xanthomonas oryzae pv.
oryza menjadi penyakit terpenting dalam tiga tahun terakhir. Sepuluh tahun yang lalu
penyakit ini tidak pernah dianggap sebagai penyakit penting sehingga penelitian
terhadapnya pun juga kurang. Suhu optimum utuk perkembangan penyakit adalah 30 C
(Saddler, 2000). Karena penulatran utamanya melalui percikan air, hujan angin akan
sangat memperberat penyakit karena. Apabila terjadi peningkatan suhu rata-rata akan
mendorong perkembangan penyakit ini. Webb dalam Garret et al., (2006) juga
menyatakan bahwa gen ketahanan padi terhadap X. oryzae pv. oryzae yaitu Xa 7
terekspresi lebih baik pada suhu yang meningkat, namun gen ketahanan lainnya justru
terkspresi pada suhu yang lebih rendah.
Penyakit moler/twisting disease pada bawang merah pada tahun 1997 tidak merupakan
penyakit utama oleh petani bawang baik dataran rendah maupun tinggi (Triwidodo et al.,
1997). Pada lima tahun terakhir terjadi peningkatan kejadian penyakit ini . Dua tahun
terakhir penyakit ini menjadi penyakit utama pada bawnag merah di baerbagai daerah
sentra produksi seperti Brebes. Menurut Tondok (2003) Fusarium oxysporum, yang
merupakan penyebab penyakit ini pertumbuhan optimum in vitro adalah pada suhu 25-30
º C. Pada suhu yang tinggi umumnya tanaman lebih stres dan lebih rentan terhadap F.
oxysporum. Walaupun sulit untuk mengatakan bahwa perubahan iklim yaitu
peningkatan suhu merupakan satu satunya penyebab peningkatan status penyakit ini,
karena juga terkait dengan kandungan bahan organik tanah yang makin rendah, serta
distribusi yang luas melalui umbi bibit, namun tampaknya cukup berkontribusi dalam
peningkatan keparahan penyakit twisting.
Virus gemini merupakan contoh yang fenomenal. Lima tahun yang lalu tidak merupakan
penyakit yang penting tetapi sekarang ini menjadi penyakit cabai yang paling penting
hampir disemua daerah pertanaman cabai dan tomat di Pulau Jawa seperti Bogor,
Cianjur, Brebes, Wonosobo, Magelang, Klaten, Boyolali, Kulonprogo, Blitar, dan
Tulungagung (Nastari Bogor dan Klinik Tanaman IPB, 2007). Penyakit ini
menimbulkan daun menjadi menguning (yellowing), dan gejala lebih jelas pada daun
muda. Epidemi dari penyakit ini salah satunya ditentukan oleh dinamika populasi
serangga vektor yaitu kutu kebul Bemisia tabaci. Hingga saat ini belum ada penelitian
yang mendalam untuk meneliti faktor penyebab ledakan penyakit virus gemini ini.
Tetapi data biologi populasi B. tabaci menunjukkan bahwa laju pertumbuhan intrinsik
dipengaruhi oleh suhu. Laju pertumbuhan intrinsik B. tabaci pada tomat meningkat
dengan meningkatnya suhu uji yaitu 0.0450 (pada 17 °C) menjadi 0.123 ( 30 °C)
(Bonaro et al.., 2007). Peningkatan keparahan penyakit-penyakit tanaman oleh virus
yang disebabkan oleh perubahan iklim juga diramalkan oleh Boland et al., (2004) di
Kanada yang berkaitan dengan perkembangan serangga vektor.
Degradasi
Sepanjang pengamatan lapangan penulis, terjadi penurunan penyakit hawar daun tomat
oleh Phytophthora infestans. Pada bulan April-Mei 2007, yang berarti musim hujan di
Jawa, penyakit ini jarang sekali ditemukan pada tomat dataran tinggi. Sebelumnya
dinyatakan bahwa penyakit ini merupakan penyakit tomat terpenting di dataran tinggi.
Penyakit hawar daun tomat lebih berkembang pada kondisi yang sejuk yaitu suhu 18-22 º
C dan lembab (Semangun, 1989). Selain itu penyakit embun bulu yang disebabkan oleh
Peronospora destructor yang pada tahun 1997 merupakan penyakit yang paling penting
bagi petani bawang merah dataran tinggi (Triwidodo et al., 1993) Pada tahun 2007 ini
sangat rendah serangannya, dan tidak dianggap penting lagi oleh petani. Boland et al.,
(2004) juga meramalkan bahwa dengan peningkatan suhu penyakit hawar daun
tomat/kentang oleh P. infestans dan embun bulu pada bawnag bombay di Kanada akan
menurun.
Fakta di atas menunjukkan indikasi kuat tentang kaitan perubahan iklim sperti
peningkatan suhu dengan masalah hama dan penyakit di Indonesia. Namun demikian
untuk pemahaman masalah secara komprehensif perlu dilakukan kajian yang khusus
dampak iklim terhadap perubahan hama dan penyakit sehingga dapat dirumuskan
langkah antisipasi yang tepat baik oleh pemerintah, maupun masyarakat.
Antisipasi
Menghadapi perubahan iklim dalam kaitan dengan perkembangan hama dan penyakit
tanaman diperlukan beberapa langkah yang sesuai. Kajian komperehensif dampak
perubahan iklim terhadap hama dan penyakit tanaman perlu dilakukan untuk menentukan
langkah yang tepat bagi pemerintah maupun petani. Selain itu diperlukan peningkatan
pemahaman agroekosistem oleh petani sehingga lebih jeli mengamati dan mensikapi
perubahan yang ada. Beberapa pengetahuan pribumi (indigenous knowledge) yang
didasari oleh pengaturan masa tanam seperti pranata mangsa dalam masyarakat Jawa
perlu dikaji kembali dan di rejuvenasi menghadapi perubahan yang berlangsung. Melihat
masalah hama dan penyakit yang makin berat di Indonesia dari tahun ke tahun, perlu
pendekatan sistem Pengendalian Hama Terpadu Biointensif (Bio-intensive IPM) yang
mengoptimalkan sumberdaya hayati yang ada. Untuk itu semua, kerjasama antara petani,
pemerintah (pusat-daerah), perguruan tinggi/lembaga penelitian , civil society yang riil
diperlukan.
Daftar Pustaka
Anderson, PA. AA Cunningham, NG Pate, FJ Morales, PR Epstein, P. Daszak. 2004.
Emerging infectious diseases of plants: pathogen pollution, climate change and
agrotechnology drivers. Trends in Ecol. and Evol. 19: 535-543
Bonaro, O., A Lurette,, C Vidal, J Fargues. 2007. Modelling temperature-dependent
bionomics of Bemisia tabaci (Q-biotype) Physiological Entomology,32: 50-55
Chakraborty, S, G Murray, N. White. 2002. Impact of Climate Change on Important
Plant Diseases in Australia. A report for the Rural Industries Research and Development
Corporation by April 2002. RIRDC Publication No W02/010
Chen, C. N., Huang, L. H., 2004. Temperature effect on the life history traits of Thrips
palmi Karny (Thysanoptera: Thripidae) on eggplant leaf.. Plant Protec. Bull. (Taipei),
46 : 99-111
demioly / Épidémiologie
Boland, G.J. M.S. Melzer, A. Hopkin, V. Higgins, and A. Nassuth. 2004. Climate
change and plant diseases in Ontario. Can. J. Plant Pathol. 26: 335–350
Garret, K.A., S.P. Dendy, E.E. Fraih, M.N. Rouse, S.E. Travers. 2006. Climate change
effect to plant disease: genome to ecosystem. Ann, Rev. Phytopathol 44;489-509
Heagle, A.S. J. C. Burns, D. S. Fisher, And J. E. Miller. 2002. Effects of carbon dioxide
enrichment on leaf chemistry and reproduction by twospotted spider mites (Acari:
Tetranychidae) on white clover. Environ. Entomol. 31: 594-601
Hikmah, Y. 1997. Tingkat parasitasi larva Spodoptera exigua pada musim hujan dan
musim kemarau. Skripsi. Jurusan Hama dan Penyakit Tumbuhan Fakultas Pertanaian
IPB.
http://www.deptan.go.id/ditlinhorti/. Di download tanggal 15 Juni 2007.
http://www.deptan.go.id/ditlin-tp/. Di download tanggal 15 Juni 2007.
http://www.deptan.go.id/setjen/humas/berita/Serangan%20OPT.htm Di download tanggal
15 Juni 2007.
Kalshoven, LGE. 1981. Pests of Crops in Indonesia. PT Ichtiar Baru-van Hoeve.
Jakarta.
Nastari Bogor dan Klinik Tanaman IPB. 2007. Laporan Safari Gotong Royong Sambung
Keperluan untuk Petani Indonesia di 24 Kabupaten-Kota di Pulau Jawa 4 April-2 Mei
2007.. Yayasan Nastari Bogor- Klinik Tanaman IPB.
Saddler, GS. 2000. IMI Description of Fungi and Bacteria No. 146 sheet 1457.
Schwartz, H.F. dan S.K. Mohan. 1995. Compendium of Onion and Garlic Diseases.
APS Press. Minnesota
Semangun, H. 1989. Penyakit Penyakit Tanaman Hortikultura di Indonesia. Gajah Mada
University Press. Yogyakarta
Tondok, E. 2001. The Causal Agent of Twisting Disease of Shallot. Master Thesis.
University of Goettingen, Germany
Triwidodo, H, T.S. Yuliani, D. Prijono dan S. Wiyono. 1998. Pengembangan Teknologi
dan Pemasyarakatan PHT Bawang Merah. Laporan Akhir Penelitian Hibah Bersaing
Dikti. LP IPB Bogor.
Triwidodo, H. 1993. Bioecology of White Stem Borer of Rice in Indonesia. Ph D
Thesis. University of Wisconsin, Madison
Webster, R.K. dan D.S. Mikkelsen. 1992. Compendium of Rice Diseases. APS Press.
Minnesota
Wiyono, S. 1997. Succession and Diversity of Shallot Phylloplane Fungi: Its Relation to
Purple Blotch Disease. Master Thesis. University of Goettingen, Germany
SUMBER ARTIKEL>>>
KLIK DI SINIThank's
My Best reGards
BaLaDiL......